A. PENGERTIAN BERMAIN PERAN ( ROLE PLAYING )
Dalam suatu proses belajar mengajar ada
beberapa komponen yang selalu terkait dan tidak bisa dipisahkan, yaitu media
pengajaran, prosedur didaktif (metode), materi pelajaran dan lain-lain. “Semua
komponen tersebut harus terpadu dan serasi agar tercipta suasana belajar
mengajar yang menyenangkan, akhirnya terwujud suatu hal apa yang dinamakan
dengan hasil belajar yang berbobot dan berkualitas (Winkel, 1991: 177).
Supaya pembelajaran sesuai dengan tujuan
yang diharapkan berupa pemahaman yang mendalam dan berantai dari siswa,
diperlukan suatu pendekatan. Guru berperan penting dalam hal ini, dengan sadar
berusaha mengatur lingkungan belajar agar bergairah bagi anak didik. Dengan
seperangkat teori dan bekal pengalaman yang dimiliki, sebaiknya seorang guru
haruslah mempersiapkan segala sesuatu sebelum melakukan pembelajaran,
mempersiapkan program pengajaran dengan baik dan sistematis.
Salah satu usaha yang tidak pernah guru
tinggalkan adalah bagaimana memahami kedudukan prosedur didaktif sebagai salah
satu komponen yang ikut ambil bagian dalam keberhasilan kegiatan belajar
mengajar. Dalam penggunaan metode atau prosedur didaktif terkadang seorang guru
harus menyesuaikan dengan kondisi dan suasana kelas. Jumlah anak didik
mempengaruhi penggunaan metode. Bervariasinya metode juga dapat menyulitkan
guru. Sebagai cara untuk tercapainya tujuan intruksional dari pembelajaran
matematika maka perlu adanya pemilihan penggunaan metode yang terbaik agar
siswa merasa tertarik untuk mempelajari mata pelajaran matematika sebagaimana
mestinya.
Pembelajaran dengan role playing adalah
suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan
penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan itu dilakukan siswa
dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Metode ini banyak
melibatkan siswa dan membuat siswa senang belajar serta metode ini mempunyai
nilai tambah, yaitu: a) dapat menjamin poartisipasi seluruh siswa dan memberi
kesempatan yang sama untuk menunjukkan kemampuannya dalam bekerjasama hingga
berhasil, dan b) permainan merupakan pengalaman yang menyenangkan bagi siswa
(Prasetyo, 2001:72).
Pembelajaran dengan role playing merupakan
suatu aktivitas yang dramatik,biasanya ditampilkan oleh sekelompok kecil siswa,
bertujuan mrngeksploitasi beberapa masalah yang ditemukan untuk melengkapi
partisipasi dan pengamat dengan pengalaman belajar yang nantinya dapat
meningkatkan pemahaman (Prasetyo, 2001: 74).
Menurut Mulyasa (2005:43) pembelajaran
dengan role playing ada tujuh tahap yaitu pemilihan masalah,
pemilihan peran, menyusun tahap-tahap bermain peran, menyiapkan pengamat, tahap
pemeranan, diskusi dan evaluasi serta pengambilan keputusan. Pada tahap
pemilihan masalah, guru mengemukakan masalah yang diangkat dari kehidupan
peserta didik agar mereka dapat merasakan masalah itu dan terdorong untuk
mencari penyelesaiannya. Tahap pemilihan peran memilih peran yang sesuai dengan
permasalahan yang akan dibahas, mendeskripsikan karakter dan apa yang harus
dikerjakan oleh para pemain. Selanjutnya menyusun tahap-tahap
bermain peran. Dalam hal ini guru telah membuat dialog tetapi siswa bisa
menambah dialog sendiri. Tahap berikutnya adalah menyiapkan pengamat. Pengamat
dari kegiatan ini adalah semua siswa yang tidak menjadi pemain atau pemeran.
Setelah semuanya siap maka dilakukan kegiatan pemeranan. Pada tahap ini semua
peserta didik mulai bereaksi sesuai dengan peran masing-masing sesuai yang
terdapat pada skenario bermain peran.
Dalam hal ini guru menghentikan pada
saat terjadinya pertentangan agar memancing permasalahan agar didiskusikan.
Masalah yang muncul dari bermain peran, dibahas pada tahap diskusi dan
evaluasi. Role playing disebut juga metode sosiodrama.
Sosiodrama pada dasarnya mendramatisasikan tingkah laku dalam hubungannya
dengan masalah sosial (Djamarah dan Zain, 2002:56).
Selama pembelajaran berlangsung, setiap
pemeranan dapat melatih sikap empati, simpati, rasa benci, marah, senang, dan
peran lainnya. Pemeranan tenggelam dalam peran yang dimainkannya sedangkan
pengamat melibatkan dirinya secara emosional dan berusaha mengidentifikasikan
perasaan dengan perasaan yang tengah bergejolak dan menguasai pemeranan.
Menurut Dr. E. Mulyasa, M.Pd. (2004:141) terdapat empat asumsi yang mendasari
pembelajaran bermain peran untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai social,
yang kedudukannya sejajar dengan model-model mengajar lainnya.
Keempat
asumsi tersebut sebagai berikut:
a. Secara
implicit bermain peran mendukung sustau situasi belajar berdasarkan pengalaman
dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi ‘’di sini pada saat ini’’.
Model ini percaya bahwa sekelompok peserta didik dimungkinkan untuk menciptakan
analogy mengenai situasi kehidupan nyata. Tewrhadap analogy yang diwujudkan
dalam bermain peran, para peserta didik dapat menampilkan respons emosional
sambil belajar dari respons orang lain.
b. Kedua,
bermain peran memungkinkan para peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya
yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan
perasaan untuk mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari
psikodrama (jenis bermain peran yang lebih menekankan pada penyembuhan). Namun
demikian, terdapat perbedaan penekanan antara bermain peran dalam konteks
pembelajaran dengan psikodrama. Bermain peran dalam konteks pembelajaran
memandang bahwa diskusi setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan
kegiatan utama dan integral dari pembelajaran; sedangkan dalam psikodrama,
pemeranan dan keterlibatan emosional pengamat itulah yang paling utama.
Perbedaan lainnya, dalam psikodrama bobot emosional lebih ditonjolkan daripada
bobot intelektual, sedangkan pada bermain peran peran keduanya memegang peranan
yang sangat penting dalam pembelajaran.
c. Model
bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar
untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu
datang dari orang tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat
terhadap masalah yang sedang diperankan. Denagn demikian, para peserta didik
dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang
pada gilirannya dapat dimanfaauntuk mengembangkan dirinya secara optimal.
Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain
tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh sebab itu, model mengajar ini
berusaha mengurangi peran guru yang teralu mendominasi pembelajaran dalam
pendekatan tradisional. Model bermain peran mendorong peserta didik untuk turut
aktif dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara seksama bagaimana orang
lain berbicara mengenai masalah yang sedang dihadapi.
d. Model
bermain peran berasumsi bahwa proses psikologis yang tersembunyi, berupa sikap,
nilai, perasaan dan system keyakinan, dapat diangkat ke taraf sadar melalui
kombinasi pemeranan secara spontan. Dengan demikian, para pserta didik dapat
menguji sikap dan nilainya yang sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan
nilai yang dimilikinya perlu dipertahankan atau diubah. Tanpa bantuan orang
lain, para peserta didik sulit untuk menilai sikap dan nilai yang dimilikinya.
Terdapat tiga hal yang menentukan kualitas dan
keefektifan bermain peran sebagai model pembelajaran, yakni :
(1) kualitas
pemeranan
(2) analisis
dalam diskusi
(3) pandangan peserta didik terhadap peran yang
ditampilkan dibandingkan dengan situasi kehidupan nyata.
B. TUJUAN
METODE BERMAIN PERAN ( ROLE PLAYING )
(Ali, 2000 : 84) menyatakan bahwa tujuan
bermain peran adalah menggambarkan suatu peristiwa masa alampau atau dapat pula
cerita dimulai dengan bebagai kemungkinan yang terjadi baik kini maupun
mendatang kemudian ditunjuk beberapa siswa untuk melakukan peran sesuai dengan
tujuan cerita. Pemeran melakukan sendiri peranannya sesuai dengan daya
imajinasi tentang pokok yang diperankannya.
Mengutip pendapat dari Subari (1994 :
93) yang menjelaskan tujuan bermain peran adalah :
1.
Memahami peran orang lain.
2.
Membagi tanggung jawab dan
melaksanakannya.
3.
Menghargai penghayatan orang lain,
4.
Terlatih mengambil keputusan.
Sudjana (1989 : 90) mengemukakan bahwa
tujuan bermain peran adalah:
1.
Agar siswa dapat menghayati perasaan
orang lain.
2.
Dapat belajar sebagaimana membagi
tanggung jawab.
3.
Dapat belajar bagaimana mengambil
keputusan dalam situasi kelompok secara spontan.
4.
Merangsang kelas untuk berpikir dan
memecahkan masalah.
Lain halnya dengan Hamalik (2002 : 138)
yang mengatakan bahwa tujuan bermain peran adalah menciptakan kembali gambaran
historis masa silam, peristiwa yang mungkin terjadi pada masa mendatang,
peristiwa-peristiwa sekarang yang berarti atau situasi-situasi bayangan pada
suatu tempat dan waktu tertentu.
Sudjana (2000 : 90) menjelaskan bahwa
tujuan bermain peran adalah agar siswa dapat menghargai dan menghayati perasan
orang lain, memupuk rasa tanggung jawab pada diri siswa.
C. PERAN GURU
Dalam metode sosiodrama dan permain
peranan Guru berperan sebagai sutradara, dimana ia betugas sebagai pemimpin,
memandu jalannya cerita dan menentukan para pemain peranan yang cocok dengan
karakternya. Dan terkadang guru juga harus menyiapkan naskahnya terlebih
dahulu. Selain itu Guru juga memiliki tugas untuk menyimpulkan hasil akhir
dari kegiatan dramatisasi tersebut. Meskipun guru sebagai pemimpin cerita
namun guru hendaknya harus memberi kebebasan kepada peserta didik untuk
mengekpresikan tingkah lakunya.
D. PERAN MURID
Dalam metode ini murid berperan sebagai
pemain dan penonton. Dengan sosiodrama dan permain peranan setiap peserta
didik diberi tugas memerankan hal – hal yang sesuai dengan kemampuannya.
Sehingga dalam pelaksanaan tersebut setiap anak merasa tanggung jawab terhadap
pelaksanaannya. Setelah itu sebagian peserta yang statusnya sebagai penonton
memiliki hak untuk memberikan kritik dan saran dalam pelaksanaan kegitan
tersebut. Sehingga setelah permainan peran atau sosiodrama selesai maka akan
tercipta suatu diskusi yang hidup.
E. MATERI YANG COCOK
Metode sosiodrama dan bermain peranan
sangat cocok digunakan untuk meteri yang memiliki tujuan :
1. Memahami perasaan orang lain
2. Membagi pertanggungjawaban dan memikulnya.
3. Menghargai pendapat orang lain.
4. Mengambil keputusan dalam kelompok
5. Membantu penyesuaian diri dengan kelompok
6. Memperbaiki hubungan sosial.
7. Mengenali nilai – nilai dan sikap-sikap
8. Menaggulangi atau memperbaiki sikap –
sikap yang salah.
Misalnya Dalam pendidikan agama metode
sosiodrama dan bermain peranan ini efektif dalam menyajikan pelajaran PKn,
akhlak, sejarah Islam dan topik-topik lainnya. Dalam pelajaran sejarah,
misalnya guru ingin menggambarkan kisah sahabat khalifah Abu Bakar, ketika
beliau masuk Islam. Kisah tersebut tentu amat menarik jika disajikan melalui
metode sosiodrma dan bermain peranan. Sebab siswa disamping mengetahui proses
jalannya khalifah Abu Bakar masuk Islam, juga dapat menghayati ajaran dan
hikmah yang terkandung dalam kisah tersebut. Demikian pula halnya pada
pelajaran akhlak. Misalnya bagaimana sosok akhlaqul karimah (seorang yang
berakhlak mulia) dan anak yang saleh ketika berhadapan dengan orang tuanya
maupun anak durhaka kepada orang tuanya, misalnya sebagaimana cerita “Si Malin
Kundang” yang tersohor itu.
F. PRINSIP
DASAR DAN CIRI-CIRI METODE PEMBELAJARAN BERMAIN PERAN
Prinsip
dasar metode pembelajaran bermain peran yaitu :
Menurut
Nur (200); prinsip dasar dalam pembelajaran bermain sebagai berikut:
a. Setiap
anggota kelompok (siswa) bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dikerjakan
dalam kelompoknya.
b. Setiap anggota kelompok (siswa) harus
mengetahui bahwa semua anggota adalah tim.
c. Kelompok mempunyai tujuan yang sama.
d. Setiap anggota kelompok (siswa) harus
membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompoknya.
e. Setiap anggota kelompok (siswa) akan dikenai
evaluasi.
f. Setiap anggota kelompok (siswa)
berbagi kepemimpinan dan membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama
proses belajarnya.
g. Setiap anggota kelompok (siswa) akan
diminta mempertanggung jawabkan secara individual materi yang ditangani dalam
kelompok bermain.
Sedangkan
ciri-ciri metode pembelajaran bermain peran adalah :
a) Siswa dalam kelompok secara bermain
menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.
b) Kelompok dibentuk dari siswa yang
memiliki kemampuan yang berbeda-beda, baik tingkat kemampuan tinggi, sedang dan
rendah. jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang
berbeda serta memperhatikan kesetaraan jender.
c) Penghargaan lebih menekankan pada kelompok
dari pada masing-masing individu.
G. PROSES PELAKSANAAN METODE ROLE PLAYING
1) Pemilihan
masalah, guru mengemukakan masalah yang diangkat dari kehidupan peserta didik
agar mereka dapat merasakan masalah itu dan terdorong untuk mencari
penyelesaiannya.
2) Pemilihan
peran, memilih peran yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas,
mendeskripsikan karakter dan apa yang harus dikerjakan oleh para pemain.
3) Menyusun
tahap-tahap berain peran, dalam hal ini guru telah membuat dialog tetapi siswa
dapat juga menambahkan dialog sendiri.
4) Menyiapkan
pengamat, pengamat dari kegiatan ini adalah semua siswa yang tidak menjadi
pemain atau pemeran.
5) Pemeranan,
dalam tahap ini para peserta didik mulai bereaksi sesuai dengan peran
masing-masing yang terdapat pada skenario bermain peran.
6) Diskusi
dan evaluasi, mendiskusikan masalah-masalah serta pertanyaan yang muncul dari
siswa.
7) Pengambilan
keputusan yang telah dilakukan. Jadi pembelajaran dengan role playing merupakan
cara belajar yang dilakukan dengan cara membagi siswa menjadi beberapa kelompok
dan setiap kelompok memerankan karakter sesuai dengan naskah yang telah dibuat
dan materi yang telah ditentukan oleh guru sehingga siswa lebih mudah memahami
dan mengingat materi yang telah diperankan tersebut.
Agar metode role playing/
bermain peran ini dapat mencapai tujuan, maka harus disusun langkah-langkah
pembelajaran agar penggunaan metode ini lebih efektif. Langkah-langkah menurut
Subari, (1994: 93-94) tersebut sebagai berikut:
(1) guru menerangkan teknik sosiodrama dengan cara yang mudah
dimengerti oleh para siswa.
(2) Masalah yang akan dimainkan harus disesuaikan dengan tingkat umur
dan kemampuan.
(3) Guru menceritakan masalah yang akan dimainkan itu secara sederhana
tetapi jelas, untuk mengatur adegan dan memberi kesiapan mental para pemain.
(4) Jika sosiodrama itu untuk pertama kali dilakukan sebaiknya para
pemerannya ditentukan oleh guru.
(5) Guru menetapkan para pendengar, yaitu para siswa yang tidak
berperan.
(6) Guru menetapkan dengan jelas masalah dan peranan yang harus
dimainkan.
(7) Guru menyarankan kata-kata pertama yang harus diucapkan pemain
untuk memulai permainan.
(8) Guru menghentikan permainan di saat situasi sedang mencapai
klimaks dan kemudian membuka diskusi umum.
(9) Sebagai hasil diskusi, guru dapat meminta siswa untuk
menyelesaikan masalah itu dengan cara-cara lain.
(10) Guru
dan siswa menarik kesimpulan-kesimpulan dari drama yang dimainkan baik dalam
teknik maupun dalam isinya
H. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN METODE ROLE PLAYING
Seperti
metode-metode pembelajaran yang lain, metode pembelajaran Sosiodrama/Bermain
Peranan (Role Playing) juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Maksudnya, tidak
semua materi bisa menjadi lebih baik bila menggunakan metode ini, akan tetapi
harus dipilih dengan teliti oleh guru pengampu, mana yang baik menggunakan
metode ini dan mana yang tidak. Berikut saya sampaikan beberapa kelebihan dan
kekurangan dari metode pembelajaran sosiodrama/bermain peran (Role Playing).
Kelebihannya:
a) Siswa melatih dirinya untuk memahami dan
mengingat isi bahan yang akan diperankan. Sebagai pemain harus memahami,
menghayati isi cerita secara keseluruhan, terutama untuk materi yang harus
diperankannya. Dengan demikian, daya ingatan siswa harus tajam dan tahan lama.
b) Siswa akan berlatih untuk
berinisiatif dan berkreatif. Pada waktu bermain peran para pemain dituntut
untuk mengemukakan pendapatnya sesuai dengan waktu yang tersedia.
c) Bakat yang terdapat pada siswa dapat
dipupuk sehingga dimungkinkan akan muncul atau tumbuh bibit seni drama dari
sekolah.
d) Kerjasama antar pemain dapat
ditumbuhkan dan dibina dengan sebaikbaiknya.
e) Siswa memperoleh kebiasaan untuk
menerima dan membagi tanggung jawab dengan sesamanya.
f) Bahasa lisan siswa dapat dibina
menjadi bahasa yang lebih baik agar mudah dipahami orang lain.
Kekurangannya:
a) Sebagian anak yang tidak ikut bermain
peran menjadi kurang aktif.
b) Banyak memakan waktu.
c) Memerlukan tempat yang cukup luas.
d) Sering kelas lain merasa terganggu
oleh suara para pemain dan tepuk
tangan penonton/pengamat.
I. CARA-CARA MENGATASI KELEMAHAN – KELEMAHAN METODE BERMAIN PERAN
Usaha-usaha
untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari metode sosiodrama antara lain ialah :
·
Guru harus menerangkan kepada siswa
untuk memperkenalkan metode ini, bahwa dengan jalan sosiodrama siswa diharapkan
dapat memecahkan masalah hubungan sosial yang aktual ada di masyarakat kemudian
guru menunjuk beberapa siswa yang akan berperan masing-masing akan mencari
pemecahan masalah sesuai dengan perannya dan siswa yang lain menjadi penonton
dengan tugas-tigas tertentu
·
Guru harus memilih masalah yang urgen
sehingga menarik minat anak. Ia mampu menjelaskan dengan baik dan menarik
sehingga siswa terangsang untuk berusaha memecahkan masalah itu.
·
Agar siswa memahami peristiwanya maka
guru harus bisa menceritakan sambil mengatur adegan yang pertama.
·
Bobot atau luasnya bahan pelajaran yang
akan didramakan harus disesuaikan dengan waktu yang tersedia. Oleh karena itu
harus diusahakan agar para pemain berbicara dan melakukan gerakan jangan sampai
banyak variasi yang kurang berguna.
Daftar pustaka
Depdiknas.
2003. Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif. Jakarta: Depdiknas.
Djamarah,
Syaiful Bahri & Aswan Zain. 1995. Strategi
Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Effendi,
Onong Uchjana. 1986. Dimensi-dimensi
Komunikasi. Bandung: Alumni.
Gulo
W. 2002. Strategi belajar mengajar, Jakarta; Gramedia.
Hasan
S.N . 1996. Pendidikan ilmu-ilmu sosial buku 1 dan 2, Bandung, Jurusan Pendidikan Sejarah UPI.
Mulyasa,
E. 2004. Implementasi Kurikulum 2004:
Panduan Pembelajaran KBK. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sardiman.
2001. Interaksi Motivasi Belajar Mengajar.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Siska,
Y. 2011. Penerapan Metode Bermain Peran
(Role Playing) Dalam Meningkatkan Keterampilan Sosial Dan Keterampilan
Komunikasi Anak Usia Dini. Jurnal Edisi Khusus No.2, : 31-37.
Sudjana
S., D. 2001. Metode & Teknik
Pembelajaran Partisipatif. Bandung: Falah Production.
Winkel. 1987. Psikologi
Pengajaran. Jakarta : Grasindo
Halo Bossku ^^
BalasHapusSegera Daftarkan ID di ibu21,com
Menyediakan 8 Permainan Hanya Dengan 1 ID
Serta Tersedia Promo Menarik
Bonus Turn Over Terbesar
Bonus Refferal Seumur Hidup
Minimal Deposit Hanya 25Rb
BBM : csibuqq
WA : +855 88 780 6060
Di Tunggu Kehadirannya Bossku ^^